Serdadu.ID – Artikel ini sengaja ditulis untuk mengenang Slamet Riyadi sang Pelopor Koppasus. Slamet Riyadi merupakan prajurit kelahiran Kota Solo Jawa Tengah pada 26 Juli 1927 dengan nama Soekamto. Ayahnya Raden Ngabehi Prawiropralebdo adalah seorang abdi dalem sekaligus perwira di Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sementara ibunya Soetati, seorang pedadang buah-buahan.
Dikisahkan ada satu momen lucu ketika Slamet kecil pernah terjatuh dari gendongan ibunya kala berusia 1 tahun. Sejak itu, ia sering sakit-sakitan. Tubuh kecilnya kurus kering dan sangat lemah sehingga mudah diserang berbagai penyakit.
Slamet Riyadi remaja lulus dari sekolah menengah tahun 1942 bertepatan dengan kalahnya Belanda dari Jepang. Slamet yang saat itu baru berusia 15 tahun memutuskan merantau ke Jakarta untuk meneruskan pendidikan di akademi kelautan milik pemerintahan militer Jepang. Hingga suatu malam di dekat Stasiun Gambir, Slamet Riyadi bersua dengan para pejuang yang bergerak secara sembunyi-sembunyi dengan harapan bisa mengusir Jepang suatu saat nanti.
Baca Juga:
Momen Slamet remaja memulai angkat senjata dipantik peristiwa Jepang yang akhirnya kalah oleh Sekutu dalam Perang Dunia II, dimana Slamet Riyadi mengajak rekan-rekannya sesama pelaut untuk turut mengangkat senjata.
Mengenang Slamet Riyadi: Kisah Heroik Serangan Umum Kota Solo
Sesudah bergabung dengan angkatan perang RI, Slamet Riyadi langsung terlibat sentral dalam berbagai aksi perjuangan melawan Belanda, termasuk Agresi Militer Belanda I dan II yang masing-masing terjadi pada 1947 dan 1949. Slamet Riyadi memimpin Serangan Umum Kota Solo selama 4 hari dari tanggal 7 hingga 11 Agustus 1949.
Serbuan frontal ini mengakibatkan 7 tentara Belanda tewas dan 3 orang lainnya menjadi tawanan (baca; Sewan Susanto, Perjuangan Tentara Pelajar dalam Kemerdekaan Indonesia, 1985:86).
Baca Juga:
Keberhasilan ini membuat Slamet Riyadi semakin dilibatkan dalam misi-misi berikutnya yang tak kalah penting. Selain itu, usai Serangan Umum Kota Solo, Slamet Riyadi dibaptis di Gereja Santo Antonius Purbayan Solo. Namanya kemudian menjadi Ignatius Slamet Riyadi.
Praktek Gerakan Pasukan Khusus ala Slamet Riyadi
Mengenang Slamet Riyadi dalam satu pertempuran saat mundur setelah serangan umum Solo dikisahkan, Overstee dia pernah sampai ke desa Ngaglik menjelang malam. Baru beberapa saat terlelap, mereka mendadak dibangunkan hujan tembakan mortir yang mengarah ke Ngaglik.
Slamet Riyadi dan para pengawalnya selamat karena dia mempraktikkan taktik pasukan komando, seperti yang pernah dia baca dalam sebuah majalah dengan pesan “Jangan bermalam di tengah pemukiman yang belum kau kuasai. Karena itu akan gampang disergap oleh musuh”.
Baca Juga:
Slamet Riyadi sengaja memerintahkan anak buahnya tidur di luar desa, di tengah ladang singkong. Saat mendengar ledakan mortir di tengah desa Ngaglik, Slamet Rijadi mengajak Letnan I Soemitro untuk meninjau situasi di lapangan, diikuti Komandan Seksi Kawal, Letnan I Soegiarto salah seorang anggota stafnya.
Dari arah ketinggian desa, dibantu sinar bulan yang kebetulan sedang purnama, Komandan Brigade berusia 22 tahun tersebut dengan mudah bisa memastikan, dari mana arah tembakan mortir datang. Tembakan berasal dari desa Kebon Djeroek.
Dari atas tampak jelas, pasukan Belanda sedang berjalan mengendap-endap berusaha mengepung Desa Ngaglik. “Giarto, bagi anak buahmu jadi tiga, sergap Belanda dengan tembakan dari arah berlainan!”, bisik Slamet Riyadi kepada Soegiarto seperti dikaisahkan dalam buku Naar Djokja terbitan Kompas tahun 2009.
Letnan Soegiarto memecah pasukannya menjadi 3 regu, lalu memerintahkan masing-masing menutup pergerakan tentara Belanda dari 3 penjuru. Saat tentara Belanda masih mendekati desa dengan mengendap, mereka tiba tiba diserang dari 3 penjuru yang tak terduga.
Baca Juga:
Alhasil tentara Belanda terjebak, oleh karena mereka tiba-tiba di hujani tembakan dari tiga arah yang selang-seling, membuat mereka tidak bisa memperkirakan berapa sebenarnya kekuatan pasukan Republik yang sedang menyergap. Oleh karena korban tentara Belanda berjatuhan, aksi penyergapan ke Ngaglik dibatalkan, dan tentara Belanda memilih mengundurkan diri.
Masih dari sumber buku Naar Djokja dikisahkan, Slamet Rijadi berpikir, “Posisi pertahanan Ngaglik telah bocor. Belanda pasti akan menyerang kembali, setelah memperoleh tambahan pasukan”. Segera setelah tentara Belanda mundur keluar desa. Saat memulai pengunduran pasukan, tiba-tiba terdengar suara sang Komandan.
“Mit,…ngiwo!”
Yang artinya ke kiri, ke arah garis Damarkasi Van Mook yang artinya masuk daerah Federal yang sudah dikuasai tentara Belanda pada agresi militer pertama.
Letnan Soemitro sempat protes pada atasan nya itu,
“Lho Pak, piye…..kok kita malah masuk daerah Federal ?”, tanya Mitro pada Overstee Slamet Riyadi, namun dengan sabar Pak Met menjelaskan,
“Yen awake dhewe ngiwo, ora ane wong ngiro, Londo yo mesti ora bakal ngiro”, Jawab lugas Slamet Rijadi menjelaskan. Maksudnya kalau kita belok ke arah kiri pasti tidak bakal ada orang mengira, Begitu juga tentara Belanda.
Setelahnya rombongan pasukan itu segera meninggalkan Ngaglik, kemudian menerobos garis demarkasi, masuk menuju wilayah Federal. Siangnya, mereka sudah sampai di Banjoedono, sebuah dusun di perbukitan yang tidak terlalu jauh dari Rawa Pening. Slamet Riyadi walau masih muda sudah memiliki naluri pasukan komando yang ia sendiri hanya dapat dari bacaan lalu dia praktekkan di lapangan.